APA ARTI JIN?
J-N-N ج ن ن
Kata جَنٌّ (junn) pada dasarnya berarti menutupi atau menyembunyikan. Raghib mengatakan bahwa جَنٌّ (junn) bermakna menyembunyikan sesuatu dari suatu sisi.
Dalam 6:77: “Ketika kegelapan malam menutupinya, ia melihat sebuah bintang”
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأىٰ كَوْكَبًا
Ungkapan قَدْ جَنَّ عَنْكَ (qad janna ‘anka) berarti sesuatu yang tersembunyi dari pandanganmu.
جَنَنٌ (janan) berarti kuburan, karena ia menyembunyikan mayat atau jasad. Kata ini juga dapat bermakna jenazah dan kafan.
جَنِينٌ (janeen), jamaknya أَجِنَّةٌ, digunakan dalam 53:32 dan berarti janin.
جُنَّةٌ (junnah) adalah alat untuk mempertahankan diri, atau segala sesuatu yang menjadi pelindung atau penutup.
جُنَّةٌ (junnah) dan مِجَنَّةٌ (mijinnah) juga berarti perisai.
58:16 bermakna “tidak ada sesuatu yang tersembunyi dalam urusan ini” لَا جِنَّ بِهٰذَا الْاَمْرِ
جِنَّةٌ (jinnah) juga berarti kegilaan, sebagaimana digunakan dalam 23:25.
Dalam kepercayaan Arab kuno, mereka meyakini bahwa مَجْنُونٌ (majnūn) adalah seseorang yang dirasuki oleh جِنٌّ (jinn). Pada masa takhayul itu, semua kekuatan yang tidak dapat dilihat atau dipahami dianggap sebagai dewa-dewi. Karena tidak terlihat oleh mata, kekuatan-kekuatan itu disebut جِنٌّ (jinn).
Mereka bahkan menyebut malaikat sebagai جِنٌّ (jinn), meski mereka juga menyembahnya.
Raghib berkata bahwa الْجِنّ (al-jinn) digunakan dalam dua makna:
1. جِنٌّ dalam makna luas, termasuk malaikat.
2. جِنٌّ sebagai kekuatan gaib; yang baik disebut farisytah (malaikat), dan yang buruk disebut syayāṭīn (setan).
Gabungan keduanya disebut جِنٌّ (jinn).
Pada banyak tempat dalam Al-Qur’an, ketika disebut bahwa bangsa Arab menyembah “jinnah”, yang dimaksud adalah malaikat, misalnya 37:158, ( Malaikat jatuh , Iblis dan Setan ).
Bumi pada awalnya adalah bola api besar, dan membutuhkan jutaan tahun untuk menjadi layak huni. Al-Qur’an menyebutkan bahwa sebelum manusia, ada makhluk yang mampu bertahan pada panas ekstrem. Makhluk itu kemudian punah, dan digantikan manusia.
Mengenai makhluk itu, Al-Qur’an berkata:
15:27 “Sebelum manusia, Kami telah menciptakan al-jān dari api panas yang menyengat”
وَالْجَانَّ خَلَقْنَاهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ نَارِ السَّمُومِ
Ayat ini juga dapat bermakna bahwa unsur-unsur alam semesta sebelum menjadi bentuk material berada dalam wujud energi tersembunyi, dan kini berada dalam bentuk laten.
Karena tidak terlihat dan karena sifatnya yang membangkang, Iblis juga disebut dari golongan jinn.
Dalam banyak ayat, kata جِنٌّ (jinn) dan إِنسٌ (ins) muncul bersama. Pada entri (A-N-S) telah dijelaskan bahwa ins bagi bangsa Arab berarti suku yang tinggal menetap, sedangkan jinn adalah suku-suku yang berpindah-pindah, sehingga jarang terlihat—serupa suku nomaden. Mereka disebut badū atau a‘rāb.
Karena pesan Al-Qur’an ditujukan kepada keduanya, maka jinn dan ins sama-sama diajak bicara.
Jika kita telaah, menjadi jelas bahwa جِنٌّ (jinn) juga dapat berarti manusia, yaitu suku-suku liar yang tinggal di hutan dan gurun.
Dalam surah Al-A‘raaf:
7:131 “Wahai golongan jinn dan manusia, bukankah para rasul dari kalangan kalian telah datang kepada kalian?”
يٰمَعْشَرَ الْجِنّ وَالْاِنْس أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ
Al-Qur’an tidak pernah menyebutkan adanya rasul yang berasal dari jinn. Surah Al-A‘raaf menjelaskan bahwa para rasul diutus dari jenis manusia (7:35).
Dalam surah Al-Ahqaf dan surah Jinn disebutkan bahwa sekelompok “jinn” datang mendengarkan bacaan Al-Qur’an (46:29, 72:1). Hal ini menunjukkan bahwa “jinn” tersebut juga memiliki rasul manusia. Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa jinn yang datang mendengar Al-Qur’an itu sesungguhnya adalah manusia dari suku-suku liar Yahudi, Nasrani, dan musyrik.
Surah Al-Israa’ menyatakan bahwa sekalipun jinn dan manusia berkumpul, mereka tidak dapat membuat yang semisal Al-Qur’an.
Surah Al-An‘aam menyebutkan bahwa yang durhaka dari golongan ins dan jinn menentang Al-Qur’an (6:113).
Surah Al-A‘raaf menyebutkan bahwa sebagian besar jinn dan ins tidak menggunakan akal mereka, sehingga mereka menjadi penghuni neraka (7:179).
Surah As-Sajdah mengatakan bahwa para penghuni neraka berkata mereka disesatkan oleh banyak jinn dan ins (41:29).
Surah Al-An‘aam mengatakan bahwa manusia (ins) berkata mereka mengambil manfaat dari jinn, dan jinn pun berkata mereka mengambil manfaat dari manusia (6:149).
Surah An-Naml menyebutkan bahwa Sulaiman memiliki pasukan dari ins dan jinn (27:17).
Surah Saba’ menyebutkan bahwa jinn tersebut membuat patung-patung, jam atau alat pengukur waktu, serta kuali besar (34:13). Mereka dirantai (38:37-38).
Taurat menyebutkan bahwa Sulaiman meminta raja Tsur untuk mengirimkan orang-orang dari bangsa Sidon untuk menebang kayu. Selain mereka, orang-orang gunung (jibleem) digunakan untuk menebang kayu dan membangun bangunan bagi Sulaiman. Sulaiman mempekerjakan 70.000 pekerja dari suku-suku pegunungan dan hutan Palestina, serta 10.000 untuk menebang kayu dan membangun.
Dari semua keterangan ini, jelas bahwa yang dimaksud jinn dan ins dalam Al-Qur’an adalah masyarakat yang beradab (settled) dan suku-suku liar padang pasir/pengembara.
Makna lain dari akar kata J-N-N
الْجَانُّ (al-jann): ular kuning bermata hitam, 27:10 , penggambaran Setan dari reptil.
الجِنُّ مِنَ النَّبْتِ: bunga-bunga atau tunas tanaman.
جُنَّتِ الْأَرْضُ: tanah dipenuhi rumput yang indah {T}.
جَنَّ النَّبَاتُ: tanaman tumbuh tinggi dan saling berjalin.
نَخْلَةٌ مَجْنُونَةٌ: pohon kurma yang sangat tinggi .
جَنَّةٌ (jannah)
Jannah adalah kebun kurma dan anggur. Kebun yang berisi buah lain disebut hadīqah, bukan jannah .
Raghib mengatakan jannah adalah kebun yang begitu lebat hingga tanahnya tidak terlihat.
Al-Qur’an menggunakan kata jannah secara luas:
Jika sistem Qur’ani ditegakkan, ia melahirkan masyarakat yang sejahtera (jannah). Setelah kematian, hasil amal baik juga disebut jannah.
Dalam kisah Adam, Al-Qur’an menggambarkan jannah sebagai masyarakat yang menyediakan kebutuhan hidup melimpah—makanan, pakaian, tempat tinggal—namun harus dimanfaatkan sesuai aturan Allah.
Karena itu jannah digambarkan dengan:
2:25 “Kebun yang dialiri sungai-sungai di bawahnya.”
13:35 “Buah-buahannya tidak pernah habis dan naungannya tetap.”
Namun hasil amal baik di akhirat tidak dapat dibayangkan manusia:
32:17 “Tidak ada jiwa yang mengetahui apa yang disembunyikan bagi mereka sebagai penyejuk mata.”
Semua gambaran itu bersifat perumpamaan.
Kita dapat membangun jannah di dunia ini jika menerapkan sistem sosial Al-Qur’an: kebahagiaan lahir dan batin, serta perkembangan kepribadian. Kepribadian yang matang akan terus berkembang menuju tujuan akhirnya, sebagaimana “cahaya mereka berjalan di hadapan mereka” (57:12).
Sebaliknya, kepribadian yang terhenti akan tinggal dalam keadaan “jahannam”.
Surga dan neraka setelah mati bukan tempat fisik, tetapi kondisi batin yang hakikatnya berada di luar jangkauan pemahaman manusia. Kita harus berusaha mengubah “neraka” dunia ini menjadi “surga”, melalui sistem hidup Al-Qur’an.